Sebenarnya film bertajuk “Perempuan Berkalung Sorban” (PBS) ini bukanlah film baru sehingga pada artikel kali ini saya tulis. Kemasan dan keuletan Hanung Bramantyo sebagai sutradara lagi-lagi diuji. Seperti film sebelum dan sesudahnya, PBS termasuk film Hanung dengan kemasan yang cukup ciamik mulai dari gambar dan ilustrasi musiknya (dari perspektif orang awam macam saya… 😀 ). Tapi dari segi konten, film yang bersumber dari novel yang berjudul sama ini, banyak hal yang perlu dicermati secara seksama—secara memang ketika debut pemutarannya banyak kritik yang melayang untuk film ini. Terlebih hal ini terkait dengan dunia pesantren.
Kadang terbersit pertanyaan dalam hati, di tengah menonton film berdurasi dalam bilangan dua jam ini, “masak gitu ya kehidupan pesantren?” atau pertanyaannya, “apa pesantren dulu kayak begitu?”.
Ah, hati saya kok berontak. Bagaimanapun kehidupan pesantren yang dikenalkan pada saya tidak demikian adanya. Ada begitu banyak pemikiran dan pendobrakan budaya yang dapat dikatakan progresif, hadirnya dari dalam keluarga pesantren. Sebut saja budaya pengajian, pendidikan untuk perempuan, bahkan hingga kepemimpinan dan peran aktif perempuan dalam perempuan.
Barangkali dalam memandang dan melihat film ini musti dilihat dari perspektif sutradaranya saja, dan bukan harus kita men-generalisir segala sesuatu, termasuk dalam urusan budaya dari sekian banyak pesantren di negeri ini. Barangkali memang demikian cara penulis dan sutradanya, Hanung, memandang dunia pesantren dengan perspektif hasil pencariannya sendiri. Entah lagi kalo gitu.
Selamat menonton film, untuk memperkaya pandangan. Ingat, movie is movie. Keep your own opinion. 🙂 [Afif E.]
Referensi lebih lanjut: