Ta’limul Mutaallim, Teori Belajar, dan Pengembangan Manusia

Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha sadar manusia untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu pada keturunannya. Berbagai usaha dan inovasi dilakukan agar manusia generasi berikutnya dapat survive serta dapat menjadi kholifah fil ardl, jika dilihat dari sudut pandang Islam. Dari segi kepentingan ini pula, berbagai teori belajar muncul. Salah satunya adalah teori belajar konstruktivisme.

Tak banyak yang penulis pahami tentang teori belajar konstruktivisme. Sedikit yang penulis ketahui bahwa teori ini mengungkapkan arti penting sikap proaktif pembelajar (baca: siswa) untuk mencari sumber belajar dan menjadi pemeran aktif untuk memahamkan dirinya sendiri. Setelah paham, lantas sebenarnya tujuan belajar oleh pembelajar untuk apa? Ada baiknya kita runut balik adanya hadits: bahwa saat bani Adam meninggal, terputuslah amalannya kecuali tiga hal: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak sholeh[1].

Kita tekankan pada poin kedua: ilmu yang bermanfaat. Terlepas dari uraian para pakar dan ilmuwan mengenai definisi ilmu yang bermanfaat tersebut: sebagian ada yang mengatakan bermanfaat dengan cara mengajarkannya pada orang lain, sebagian lagi berpendapat bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diterapkan bagi kemashlahatan umat. Satu hal yang jelas, tidak ada yang membantah bahwa ilmu haruslah bermanfaat. Lantas, bagaimanakah cara menggapai ilmu yang manfaat itu sendiri?

Syeikh Az-Zarnuji membahasnya dalam karyanya yang berjudul Ta’limul Mutaallim. Syeikh Az-Zarnuji merupakan ahli fiqih, sekaligus filusuf Arab, dengan riwayat hidup yang tidak banyak kepastian, mengingat simpang siurnya catatan tentang beliau[2]. Akan tetapi tentu tidak mengurangi makna dan kandungan karya Ta’limul Mutaallim itu sendiri.

Cetakan kitab yang diketahui paling lama adalah pada tahun 1709 M di Jerman ini, banyak sekali membahas tentang niat belajar, tata cara dan waktu belajar, memilih bidang ilmu yang dipelajari, memilih teman dan guru, hingga sikap wara yang harusnya dimiliki oleh setiap pelajar. Dari uraian di dalamnya, dapatlah kita sedikit menyimpulkan, bahwa Syeikh Az-Zarnuji menekankan peran penting sikap proaktif para pelajar, untuk memahamkan dirinya sendiri. Karena sejatinya pendidikan merupakan tentang membelajarkan dan memahamkan cikal bakal manusia, seperti disinggung di awal tulisan ini. Hal ini juga relevan dengan penerapannya dalam dunia pendidikan tinggi.

Terdapat kekhawatiran semakin meluas, bahwa semakin banyaknya pengangguran di tingkat sarjana. Juga kekhawatiran adanya sebagian mahasiswa atau pelajar yang merasa dengan hanya mengandalkan nama besar tempat belajar (baca: reputasi kampus) dirinya akan survive. Rhenald Kasali mengindikasikan hal ini dalam bukunya[3]. Padahal menurut Kasali, sikap dan pemahaman demikian paling tidak akan mengurangi kemampuan manusia hasil pendidikan tinggi untuk bertarung di dunia. Untuk memanfaatkan ilmunya, ataupun memberikan mashlahat bagi umat melalui ilmu manfaatnya.

Dari yang demikian tadi, lantas bagaimanakah kita harus menyikapi? Paling tidak untuk diri kita sendiri dulu. Apakah salah kurikulum yang selalu berubah? Hemat penulis, tidak dapat hanya menyalahkan satu porsi ini saja. Mengingat perubahan kurikulum merupakan bagian dari antisipasi perubahan zaman. Sebagaimana ungkapan yang dinisbatkan kepada Sayyidina Ali: didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena ia akan hidup pada zaman yang sama sekali berbeda dengan zamanmu. Mari berdiskusi! [Afif E.]

Selat Madura, 2 November 2016

[1] (HR. Muslim no. 1631).

[2] H. Aly As’ad, Drs., M.M.. 1978. Terjemah Ta’limul Muta’allim. Kudus: Penerbit Menara Kudus.

[3] Rhenald Kasali. 2014.  Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger? Jakarta: Mizan Group.

 

Catatan: Bahan diskusi pada Kajian Pendidikan Forum Studi Islam Ar-Rasyad, Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura. Bangkalan, 2 November 2016.

Tinggalkan komentar